Tampilkan postingan dengan label Opini Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 Agustus 2012

Pendeskreditan kata ABG SMA

Apa yang terlintas dalam pikiran kita ketika mendengar kata ABG SMA? Tentu akan lahir dua persefsi yang salling kontradiktif dengan  kata itu. Pertama bagi kelompok yang selalu memiliki pikiran positif akan menganggap bahwa ABG SMA adalah harapan penerus tongkat estafet kebangsaan, dan ini memang realitanya. Sejarah membuktikan bahwa revolusi selalu dihadirkan oleh pemuda dalam hal ini tak jauh dari usia ABG. Tak hanya revolusi-revolusi kemerdekaan tetapi juga revolusi dalam ilmu pengetahuan. Hampir semua penemuan yang berhasil merubah wajah dunia dihasilakan oleh para ilmuan dalam masa mudanya. Pandangan kedua adalah pandangan apriori yang seakan tak percaya lagi akan masa depan bangsa jika berharap pada ABG SMA. Hal ini terjadi karena proses pendeskreditan yang terjadi secara laten dan berada di batas sadar manusia. Sebagian masyarakat melakukan pengambilan konklusi dari premis-premis dan sampel-sampel minoritas yang tentunya tidak valid untuk dijadikan sebuah konklusi. 

ABG SMA seakan menjadi objek komersialisasi media, sebut saja sinetron-sinetron yang kebanyakan memperlihatkan keliaran dari ABG SMA ini. Begitupun dengan berita-berita di media massa yang seakan mendeskreditkan ABG SMA ini. Padahal jika dilihat dengan kacamata universal, banyak prestasi yang dicipta ooleh ABG SMA ini yang tak menjadi perbincangan di khalayak. Prestasi-pestasi tersebut tak hanya dalam bidang akademiknya tetapi juga pada bidang-bidang lain seperti seni dan olahraga.

Beberapa waktu kemarin khalayak dikejutkan dengan berhasilnay siswa-siswa SMK merakit sebuah mobil yang diberi nama mobil ESEMKA. Karya tersebut hanyalah sebagian kecil dari prestasi-prestasi yang diraih oleh ABG SMA, sebut saja berulang kali memenangkan olimpiade Matematika, Fisika dan mata pelajaran lainnya yang bertaraf internasional. Tak jarang pula diantara para ABG SMA itu menjadi seorang kritikus dengan tulisan-tulisannya yang menghiasi dinding-dinding media massa di tanah air.

Saya pun sangat mengapresiasi atas usaha-usaha yang dilakukan pleh sekolah untuk merubah paradigma negatif masyarakat terhadap ABG SMA dengan menggencarkan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler baik itu berupa study club maupun organisasi kesiswaan yang tentunya menigkatkan soft skill siswa. Hal yang sekarang perlu dubah hanyalah padapermasalahan pandangan masyarakat, yaitu memandang sesuatu hanya dari satu sisi saja tanpa melihat sisi yang lain.

Senin, 16 Juli 2012

Sekolah atau Penjara

"Mengajar bukan profesi. Mengajar adalah kegemaran. Aku telah mencapai sebuah kesimpulan yang menakutkan bahwa aku adalah unsur penentu di dalam kelas. Pendekatan pribadikulah yang menciptakan iklimnya Suasana hatikulah yang membuat cuacanya. Sebagai seorang Guru, aku memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membuat hidup seseorang menderita atau gembira. Aku bisa menjadi alat penyiksa atau pemberi ilham, bisa bercanda atau mempermalukan, melukai atau menyembuhkan. Dalam semua situasi, reaksikulah yang menentukan apakah sebuah krisis akan memuncak atau mereda dan apakah seseorang akan diperlakukan sebagai manusia atau direndahkan."( Haim Ginott)
Tahun 1996 "Sekolah adalah Rumah Ke-duaku"
Aku pertama menginjakkan kakiku di bangku sekolah. Tak ada diferensiasi antara apa yang selalu diceritakan oleh ummiku dengan kenyataan saat itu tentang sekolah. Katanya "Di sekolah kamu akan menemukan teman-teman baru dan kamu akan bertemu dengan guru-guru yang akan senantiasa menyunggingkan senyumnya untukmu". Ummiku ternyata tak hanya mencoba untuk menenangkanku, aku menemukan sosok "orang tua ke dua" pada saat itu. Aku merasa guru pada saat itu layaknya seorang teman belajar, teman bermain, dan teman bercerita. Tak ada batasan kaku antara saya dan mereka. Saat saya tak bisa menuliskan angka delapan yang saat itu merupakan angka yang paling sulit saya tulis ia dengan ramahnya menggengam tanganku dan membimbing tangan mungilku berkelok layaknya membentuk dua angka nol yang saling berdempetan "mudah kan?" katanya seraya tersenyum "iya pak" jawabku sambil menunduk tersipu.
Saat mata pelajaran olahraga, ia tak hanya menjadi seorang wasit atau menjadi seorang pelatih dalam permainan sepakbola. Ia lebih dari itu, ia tak hanya menjadi pengadil dan pelerai dalam permaianan kami yang kadang harus diwarnai dengan perkelahian ala anak SD, ia mampu menenangkan dan membagkitan semangat kami tanpa menggunakan pluit atau bahkan pentungan. Ia tak hanya sekadar mengajarkan teknik bermain bola, tetapi menjadi teman bermain sepak bola kami. Kadang ia harus rela menjadi seorang pelempar bola pada kami saat permainan takraw atau menjadi kiper dalam permainan sepak bola kami.
Seorang Guru Menggandeng tangan, membuka pikiran, menyentuh hati, membentuk masa depan. Seorang Guru berpengaruh selamanya dan dia tidak pernah tahu kapan pengaruhnya berakhir (Henry Adam)
Tahun 2000 "Mengapa Kalian Berubah?"
Suasana atau mungkin lebih tepatnya nuansa yang saya rasakan pada tahun awal aku menginjakan usia 10 tahun atau masa ketika aku masuk kelas IV sekolah dasar mulai berbeda dengan nuansa ketika saya pertama kali mengenal dunia pendidikan formal. Guru pun yang dulunya bagiku seperti teman kini menjadi sosok "guru" yang sebagian orang menganggapnya sebagi guru yang sebenarnya. Saat itu saya mulai jarang berinteraksi layaknya sepasang teman sejawat, mulai ada sekat antara kami. Ada pembatas norma yang sampai saat ini pun aku masih merasa absurd atas hal itu. Kami tak boleh lagi bertanya ini itu sama seperti sebelumnya, kami tak sering lagi bermain sepak bola bersama dan senyum yang dulunya pun tak pernah alfa dari bibir mereka telah sering diselingi dengan "ceramah membosankan" atau bahkan ujung sapu ijuk pun pernah melayang di betis-betis kami. Apakah ini sebuah drama atau lakon yang mereka perankan? Pertanyaan yang sampai saat ini belum mampu saya jawab sendiri. Tapi satu yang pasti, saya sudah merasa ada yang berubah dari mereka.
Alasan usia dan tingkat pemikiran kami (siswa) mungkin menjadi alasan mereka mengubah pola mereka untuk memanusiakan kami. Pola "mendidik" yang dulunya mampu mengilhami kini berganti dengan pola "mengajar" yang seolah memaksa kami untuk memahami ingin mereka. Saya berpersefsi bahwa mereka melakukan hal tersebut atas dasar anggapan dan konsep pendidikan yang mereka ambil dan adopsi dari buku-buku teks pendidikan tanpa pernah memerhatikan kondisi dan keinginan peserta didiknya. Hal tersebut mengakibatkan kesenjangan antara harapan dan keinginan pendidik dengan harapan dan keinginan peserta didik. Sehingga terbentuklah pola pengajaran satu arah yang layaknya hanya sebagai wadah transformasi keilmuan dari guru ke siswa. Saat itu aku mulai merasa bahwa apa yang selalu dikatakan oleh ummiku dulu hanyalah sebagai pembuka akan dongeng-dongeng melodi pengantar tidur semata.
"Guru biasa memberitahukan, guru baik menjelaskan, guru ulung memeragakan, guru hebat mengilhami (William Arthur Ward)"
Tahun 2005 "Percaya pada Kami!"
Transformasi keilmuan satu arah tak hanya saya rasakan di bangku sekolah dasar, tetapi juga saya rasakan hingga menjelang ujian nasional di bangku sekolah menengah pertama. Hal tersebut tentunya lebih parah dengan ditambahkannya konsep funishment tanpa ada reward. Hal yang paling menggelitik adalah konsep pemahaman pendidik yang seolah menganggap kami peserta didik sebagai objek dari pendidikan itu sendiri. Objek pendidikan dalam artian menganggap kami sebagai sebuah gelas kosong yang mesti diisi tanpa ada interaksi dua arah. Pendapat dan argumen kami seolah hanya sebagai bumbu penyedap dalam proses pembelajaran. Pemahaman akan mata pelajaran pun diukur dari persefsi dan anggapan mereka dengan melakukan berbagai tes-tes kognitif yang sangat kaku.
Efek dari pemahaman tersebut yaitu ketika kami menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN) yang tentunya sangat berorientasi pada nilai kognitif. Para pendidik seakan tak percaya pada kemampuan kami sebagai peserta didiknya untuk menjawab soal-soal pada UAN tersebut, sehingga lahirlah "ide bodoh dan membodohkan" yaitu dengan memberikan kunci jawaban kepada kami. Untungnya ide tersebut tak sempat terealisasikan, entah karena alasan apa. Mereka seharusnya sadar bahwa hal tersebut merupakan efek dari konsep pembelajaran yang mereka terapkan. Seandainya peserta didik dijadikan sebagai subjek pendidikan dan pendidik sadar bahwa tugas mereka tidak hanya untuk menyampaikan pelajaran tetapi juga untuk menjelaskan, memeragakan atau bahkan mengilhami kami sebagai peserta didik tentu mereka akan percaya akan kemampuan kami ketika menghadapi UAN tersebut.
“Tujuan mengajar adalah untuk membuat anak bisa maju tanpa Gurunya” (Elbert Hubbard).
Tahun 2006 “Sekolah adalah Penjara”
“Tiada masa paling indah, masa-masa di sekolah” (Chrisye). Penggalan lagu almarhum Chrisye mungkin memang tepat jika kita melihat dari sisi romantika cinta, tapi hal tersebut tentunya tak sesuai dengan realita pendidikan di bangku SMA. Setidaknya itulah yang saya rasakan pada saat itu. Sekolah bagai sebuah penjara, tak ada kebebasan berekspresi. Keterkunkungan akan sebuah sistem pendidikan merupakan warna yang sangat kental pada masa ini.
Kecerdasan peserta didik hanya dilihat dari aspek kecerdasan “mathematic” belaka, tanpa pernah memerhatikan multiple intelegence yang dimiliki siswa. Kesalahan persefsi lahir dari para pendidik yang tak pernah melakukan introspeksi diri terhadap pola dan metode pembelajaran yang diterapkan. Saya yang merasa jenuh dengan metode pembelajaran yang diterapkan kadang membolos pada beberapa mata pelajaran, hal tersebut kemudian dicap sebagai sebuah kenakalan tanpa ada hubungan kausalitas dari pendidik. Persefsi yang sangat pragmatis dan bahkan bisa dibilang apatis.
Tapi dibalik semua itu, saya merasa beruntung telah diajarkan oleh guru-guru saya akan norma dan aturan sehingga meskipun miskin akan kemampuan kognitif tetapi setidaknya saya masih bisa mengucapakan kata “Terima kasih” bagi mereka yang telah berjasa membuatku seperti saat ini.
Tahun 2014 “Sekolah adalah Surga Bagi Siswa”
Berbuat sebuah kesalahan adalah wajar, tapi mengulang kesalahan yang sama adalah sebuah ketakwajaran (Wahyuddin MY, 2010). Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang sering diucapkan oleh ketua saya di lembaga kampus yang sekarang menjadi salah satu voluunter di program Indonesia Mengajar. Sadar akan kekeliruan yang pernah dirasakan ketika menjadi seorang peserta didik seharusnya menjadi landasan untuk tak berbuat seperti hal tersebut. Saya telah berani melakukan kritik atas apa yang pernah saya rasakan, berarti saya seharusnya mampu tuk melakukan proyeksi untuk perbaikan kedepannya.
Menjadi seorang guru berarti belajar kembali.
Sebagai seorang calon pendidik seharusnya melakukan evaluasi baik dari sistem, metode, dan konsep pendidikan yang mereka telah lalui maupun terhadap kemampuan yang mereka miliki saat ini. Hal tersebut tentunya tak hanya menjadi sebuah konsep ideal tanpa bentuk aplikasi, sehingga sekolah dapat menjadi surga bagi peserta didik. Evaluasi tentunya akan melahirkan sebuah proyeksi. Semoga para calon pendidik utamanya saya tak hanya mampu menjadi “kritikus pendidikan” tanpa pernah mampu mengubah kondisi tersebut menjadi lebih baik. Harapan yang selalu terselip di hati saya dan semoga di hati tiap calon pendidik adalah menjadikan sekolah tempat kami mengabdi nantinya sebagai surga bagi peserta didik kami.

Tulisan ini aku buat untuk mengikuti Lomba Blog "Menjadi Pendidik" Sampoerna School of Education. Lebih dari itu aku menulis segala keresahanku tentang "pendidik" semata-mata bukan hanya sebagai kritik tetapi juga sebagai wadah untuk introspeksi untuk melakukan proyeksi ke depan. Harapanku pun bagi yang membaca tulisan ini utamanya bagi calon pendidik sadar bahwa kekeliruan yang dilakukan oleh guru kita jangan sampai kita lakukan lagi dan menjadi sebuah siklus kesalahan tak berujung.





Sabtu, 05 Mei 2012

Euforia Utopis di Tengah Generasi Culas (Refleksi Peringatan Hari Pendidikan Nasional)

Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani” Istilah ini mungkin sudah sangat melekat di telinga orang Indonesia, apalagi bagi mereka yang telah pernah atau sedang mengecap pendidikan. Sebuah ungkapan atau bisa saya sebut sebagai falsafah yang memuat tujuan pendidikan yang seharusnya secara utuh. Bahwa hakikat dari tujuan pendidikan bukan hanya untuk mencerdaskan dari segi Intelegence Quation (IQ) tetapi juga dari segi Emotional Quation (EQ) dan Spritual Quation (SQ). Hal tersebut sebenarnya tertuang dalam ungkapan atau lebih tepatnya ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara tersebut. Ajaran tersebut mengajarkan dan mengharapkan orang yang menjadi peserta didik disamping  dapat menjadi suri tauladan atau panutan, juga  mampu menjadi motivator, inisiator, serta penggugah semangat dan pemberi dorongan moral agar masyarakat di sekitarnya merasakan arti penting dari “Orang Terdidik”
.
Hal yang sangat ideal dan merupakan cita-cita mulia dari para pejuang pendidikan di negara ini. Tentunya hal ini juga menjadi cita-cita dari setiap pemerintah dan masyarakat Indonesia. Sama seperti koin yang memiliki dua sisi, seperti itu pula masa depan penddikan di Indonesia saat ini. Satu sisi ada harapan agar cita-cita ideal yang tertuang dalam semboyan Tut Wuri Handayani dapat terwujud dan di sisi lain ada perasaan skeptis cita-cita tersebut dapat terwujud melihat semrawut pendidikan di negara ini.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...